This is my life

This is my life
Just me, my Lord, and my life story...

Sabtu, 09 Januari 2016

Gadis Kecil Pengantar Koran




Gadis Kecil Pengantar Koran. Hm... aku kurang suka. Seharusnya Gadis Kecil Pengantar Koran yang Mengagumi Kakak Pelukis Cantik Berambut Cokelat Kemerah-merahan. Terlalu panjang? Tak apa, yang penting aku menyukainya. Yah... aku memang mengagumi kakak itu
, kakak yang selalu menghadiahkan lukisan kepadaku.

Aku selalu semangat saat mengantarkan koran untuknya tiap pagi. Walaupun Kakak Cantik itu tak pernah meminta aku mengantarkan koran ke rumahnya, aku selalu melakukannya dengan rasa suka. Kami bertemu pertama kali saat aku melihatnya kesusahan mengeluarkan bingkisan persegi di depan rumahnya. Sebelumnya aku sering melewati rumah Kakak itu pada saat mengantar koran. Kukira rumah Kakak itu kosong karena aku tak pernah melihat ada orang yang keluar masuk saat aku melewatinya. Tapi saat itu, saat aku pertama kali melihat penghuni rumah itu, aku berhenti.

Aku memperhatikan Kakak itu dari jauh. Kumajukan kepalaku dan kubuka mataku lebar-lebar untuk memastikan apakah seorang wanita berpakaian rok panjang itu adalah manusia sama sepertiku. Aku tentu ingat cerita teman-temanku, bahwa rumah kosong biasanya banyak hantunya. Tapi setelah kulihat kakinya menapak di tanah, aku yakin seyakin-yakinnya kalau dia manusia. Apalagi saat dia berdiri di samping kotak surat cokelat dan menatapku dengan mata berbinar.

Kakak Cantik itu memanggilku. Suaranya lirih sekali. Aku sempat ragu untuk mendekat, tapi senyum dan lambaian tangannya membuatku membuang ragu dan mendekat padanya.

“Sampean saget ngeteraken barang?”

Aku mengangguk, dan Kakak Cantik itu tersenyum girang. Ia pun melesat masuk ke dalam rumahnya dan keluar tidak lama kemudian dengan sebuah lukisan di tangannya.

“Purun niki?” tawarnya sambil menyerahkan lukisan yang dibawanya kepadaku.

Itu adalah lukisan sepeda yang sangat cantik. Aku benar-benar menyukainya. Dengan semangat aku menganggukkan kepalaku, dan itu membuat Kakak tersebut semakin melebarkan senyumnya.

Itu adalah awal pertemuan kami. Sejak saat itu, aku selalu mengantar koran ke rumah Kakak Cantik itu. Kakak itu pernah menolak koran yang kuberi, katanya percuma, tidak akan ada yang membaca. Tapi aku tak peduli. Lukisan yang dia berikan padaku tak sebanding dengan koran yang kuberikan padanya tiap pagi. Lagipula... aku selalu berharap Kakak itu meminta tolong padaku untuk mengantar lukisan-lukisannya ke alamat yang ia beri saat dia meminta tolong padaku untuk pertama kalinya. Dengan begitu, koleksi lukisan sepedaku akan bertambah setiap waktunya.

Namun, di lain sisi aku juga merasa heran. Seringkali saat aku mengantar lukisan Kakak Cantik itu, aku juga mendapat kiriman lukisan balik yang ditujukan untuknya. Di bingkisan yang kukira semua isinya adalah lukisan  si Kakak, terdapat sebuah amplop putih yang aku tak tahu apa isinya. Apalgi tiap kali aku menaruhnya di rumah si Kakak Cantik, Kakak tersebut tak pernah berada di depan rumah.

Itulah rutinitasku selama ini. Aku menjalaninya dengan senang hati. Bagiku, imbalan yang kuterima dari mengantar koran tak akan pernah sebanding dengan lukisan sepeda yang selalu kuterima dari Kakak pelukis yang cantik itu. Semua lukisannya sangat cantik. Aku jadi penasaran bagaimana isi rumahnya. Pasti dinding-dindingnya dipenuhi lukisan yang cantik-cantik pula. Sungguh, aku ingin sekali melihat semua lukisan Kakak Cantik itu. Hampir tiap kali aku mengantar koran, aku berharap agar bisa melihat semua lukisannya suatu hari nanti.

Namun pagi ini, masih dalam waktu seperti biasa aku mengantar koran ke rumahnya. Di depan rumah si Kakak yang sekarang tak dihiasi kursi goyang, meja, dan sepeda tua itu lagi, aku melihatnya duduk bersandar di depan pintu rumahnya dengan rambut panjang yang terurai sedikit acak-acakan. Mata Kakak itu terpejam, apakah Kakak itu sedang tidur?

Kugoyangkan lonceng yang biasa kubunyikan tiap kali aku mengantar koran ke rumah itu. Aku takut untuk membangunkannya langsung, maka dari itu aku hanya berani membunyikan lonceng berwarna keemasan tersebut. Tak ada pergerakan, kugoyangkan sekali lagi. Berhasil, si Kakak bangun dan menghampiriku.

“Kulo angsal nyuwun tulung?”

Aku mengerjap. Wajah Kakak Cantik itu terlihat pucat. Saat ia menyodorkan berlembar-lembar kertas kepadaku, aku melihat banyak sekali luka gores di lengannya.

“Tulung sukak'aken niki ten tiang-tiang.”

Seketika aku mendongak menatap wajahnya yang semakin terlihat pucat saat diperhatikan lebih dekat. Kakak itu tersenyum.

“Namung kulo mung saget maringi niki,” ucapnya sambil menyodorkan sebuah lukisan bergambar sepeda.

Aku sangat girang. Lagi-lagi aku mendapatkan lukisan dari Kakak Pelukis Cantik itu. Aku pun melakukan perintahnya dengan penuh suka hati. Kuselipkan tiap kertas pemberiannya --yang ternyata setelah kubaca, kertas itu adalah sebuah undangan pameran lukisan-- ke dalam koran yang akan kuantarkan untuk pelanggan yang lain. Aku begitu semangat melakukannya. Kuantarkan koran-koran itu ke pelangganku dengan harapan mereka membaca undangan yang kuselipkan di sana.

Aku begitu menanti esok hari akan datang dengan cepat. Aku bisa membayangkan bagaimana halaman rumah Kakak Pelukis Cantik yang biasanya sunyi dan damai itu akan dipenuhi banyak orang yang saling berbisik karena terkagum-kagum dengan lukisannya. Akhirnya, aku pun juga akan melihat isi rumahnya. Pasti perkiraanku benar. Pasti dinding rumah itu penuh dengan lukisan yang salah satunya adalah lukisan sepeda.

Ya pasti seperti itu. Esok pagi, kupastikan aku adalah orang yang pertama datang di sana. Aku tak boleh telat, benar-benar tak boleh telat. Tunggu aku Kakak Pelukis Cantik...






https://m.youtube.com/watch?v=QkFCQPm9g4k








-Loka Rupa by KOPI Production-

Kamis, 14 Mei 2015

Pemenang

Aku adalah pemenang. Aku tidak hina, hanya orang-orang yang tidak lebih unggul dariku saja yang menyebutku seperti itu. Kasihan, mereka kalah, dan mereka mencaci. Mencaci diriku, yang seorang pemenang. Jadi, siapa yang sebenarnya hina disini?

Aku menatap pantulan tubuhku di cermin. Sebelah tanganku terangkat untuk menyelipkan anak rambutku ke belakang telinga. Sudut bibirku yang terhias gincu merah menyala terangkat sebelah.

Aku adalah pemenang. Aku dilahirkan sebagai seorang pemenang. Pemenang pada hakikatnya adalah orang yang unggul dari lawannya, dan itulah aku. Aku unggul. Unggul dari satu, beberapa, hingga semua sisi kelemahan lawan-lawanku. Sekali lagi, dengan bangga aku menyatakan bahwa aku adalah pemenang.

Pintu terbuka, dan suara decitan engselnya yang mungkin sudah tua membuatku menoleh ke sumber suara. Seorang pria dengan setelan kemeja kerja yang masih lengkap dasi panjangnya berdiri mematung di sana. Ia terlihat lelah. Mata kecoklatannya tampak sayu, lingkaran hitam pun menggelayut tepat di bawah matanya. Dan rambutnya yang berantakan, hm… entahlah. Aku mungkin tak pernah merasakan lelah yang seperti itu.

“Aku datang,” ucapnya.

Aku tersenyum. Dengan senyum kemenangan ini, aku berdiri dan mendekatinya perlahan. “Aku selalu menyambut kedatanganmu,” ucapku tanpa sedikitpun memudarkan senyumanku.

Pria itu masuk, dan menutup pintu di belakangnya saat aku berhenti melangkah. Dengan gontai, pria itu berjalan mendekatiku dan berhenti tepat di depanku. Dekat sekali.

Tanganku terangkat untuk melonggarkan dasinya. “Kau ingin mandi?”

Dia menggeleng. “Aku sudah mandi di kantor.”

“Lalu kenapa kau terlihat berantakan seperti ini?”

Dia tak menjawab, melainkan hanya menatap mataku semakin dalam. Aku pun turut menatapnya, mencoba untuk menggali apa yang yang kini tengah mengganjalnya.

“Ada apa?” tanyaku. “Kau yang menyuruhku datang ke hotel ini, tapi kau sendiri seakan tak ingin membaginya denganku.”

“Apa istriku menemuimu?” tanyanya cepat.

Aku terbelalak, aku memang terkejut dengan pertanyaannya. Namun aku adalah pemenang. Dengan perlahan, senyum kemenanganku kembali tercetak.

“Tidak, dia hanya baru menghubungiku.”

“Kapan?” Pria-ku ini kembali bertanya. Sebenarnya aku ingin tertawa melihat ekspresinya tidak sabarannya.

“Tadi siang.”

“Lalu?”

Alisku menaut kali ini. “Kau ini kenapa? Aku datang kesini bukan hanya untuk membicarakan wanita itu.”

“Jawab saja pertanyaanku! Aku hanya tidak ingin kalian saling menyakiti.”

“Saling menyakiti?” tanyaku tenang. “Untuk apa saling menyakiti?”

Dia membuka tutup bibirnya, namun  tak ada satupun kata yang keluar dari sana. Aku paham dia ingin bicara, aku pun menunggu walaupun  itu harus melewatkan dua langkah jarum terpanjang jam dinding. Hingga pada akhirnya, dia menyerah dan mendudukkan tubuhnya di ranjang.

Dia mengusap wajahnya frustasi dan meletakkan kedua telapak tangannya di tengkuk. Dia menunduk. Kudekatkan tubuhku dengannya. Tepat di depannya, aku berjongkok dan mengusap punggung lebarnya yang selalu aku suka.

“Aku mencintaimu, dan tidak ingin kau dihina siapapun,” ucapnya seraya masih menunduk, lirih sekali.

Lagi-lagi aku terrsenyum. “Istrimu tidak akan menghinaku. Dia tak pantas melakukan itu.”

Pria-ku mengangkat wajahnya dan menatapku penuh tanda tanya.

“Aku… jauh lebih unggul darinya,” ucapku dengan penekanan pelan di setiap kata. “Dan kau pantas memiliki aku.”

Dia tidak bersuara, melainkan terus menatapku dengan ketidakpahamannya. Baru saja ia membuka mulutnya, aku mendahuluinya.

“Pernahkan kau berpikir alasan apa yang membuatmu datang padaku?” tanyaku pelan.

Tak ada jawaban.

Aku mendekatkan kepalaku ke telinganya. “Karena aku jauh lebih bisa melengkapimu,” bisikku bangga.

Dia hanya menatapku saat aku menjauhkan kepala. Aku memberikannya sebuah senyuman setulus mungkin.

“Sejujurnya aku tak butuh ungkapan cintamu. Tanpa mengatakannya pun, aku sudah tau bahwa semua hal tentang dirimu membutuhkanku.” Jemariku bergerak mengusap lembut kedua tangannya yang masih bertaut. “Jika menurut orang lain aku salah, aku tidak merasa begitu. Justru istrimu lah yang salah karena dia tak sanggup untuk melengkapimu.”

Hanya ada hening. Selama beberapa saat, kami hanya saling bertatap mata dan mencoba untuk saling membaca pikiran lewat sana.

“Terimakasih.”

Kata itulah yang pertama terucap. Aku tersenyum, membelai wajahnya dengan penuh kasih sayang.
“Hanya pemenang yang bisa melengkapimu,” tutupku sebelum aku semakin mendekatkan tubuhku 
kepadanya. Hanya padanya.
.
.
.
.
.
.
.

Akulah sang pemenang.

.
.
.
.
.
-RAWKS-

Jumat, 08 Agustus 2014

Temanku...

Melihatmu, mengenalmu, menjadi temanmu, menjadi orang terdekatmu, merasakan degupan aneh saat bersamamu, merasakan banyak kenangan tak terlupakan bersamamu, mencoba tak menghiraukan dalamnya tatapanmu, mengetahui siapa pemilikmu, memendam semua yang kurasa tentangmu, dan… menahan segala gejolak emosi yang berkecamuk tiap kali aku bertemu denganmu.

Temanku… andai engkau tau isi hatiku.

.

.

.

Entah kata pertama apa yang harus aku ungkapkan ketika aku melihatmu sore itu. Aku merasa seluruh tubuhku tiba-tiba bereaksi dengan sendirinya. Jantungku berdegup cepat, bibirku seakan-akan selalu ingin mengukir senyum, dan  berbagai candaan yang biasa kita lakukan seolah-olah mengantri di dalam mulutku untuk dikeluarkan. Namun aku juga tak melupakan reaksi yang lain, yaitu reaksi untuk mengurungkan semua reaksiku itu.

Kau duduk di motormu, memunggungiku, dan tak melihatku. Seperti biasa, aku selalu merasa bahwa punggung lebarmu itu mengemban banyak tanggung jawab di atasnya. Tanpa aku mendekat pun aku tahu apa yang sedang kau lakukan, yah…  kau pasti sedang sibuk dengan ponselmu. Tanpa berniat membuatmu menoleh, aku memilih jarak parkir yang cukup jauh dari tempatmu. Ujung dan ujung. Kurasa jarak yang aku pilih adalah jarak yang aman, namun ternayata tidak saat kau menoleh perlahan.

Matamu yang menatapku seolah-olah ingin berkata sesuatu, namun hal itu tak kunjung keluar juga dari mulutmu. Mencoba setenang mungkin, aku menyunggingkan senyumku dan menyapa namamu. Kau masih diam dan tak merespon, entah ini sifat barumu atau apa. Sudah kepalang basah menurutku jika ingin menghindar darimu seakrang juga. Seturunku dari motor, aku berjalan mendekatimu hanya untuk sekedar berbasa-basi. Yah… aku harap memang hanya untuk sekedar berbasa-basi karena aku tidak ingin berharap lebih.

“Ngapain di sini?” tanyaku seraya semakin mendekatimu.

“Nunggu,” jawabmu singkat dan dengan raut wajah datarmu seperti biasa.

Aku melebarkan senyumanku, bukan senyuman bahagia tentunya karena aku tahu siapa yang di tunggu. “Nunggu Nyonya, ya?”

Kau hanya tertawa. Sungguh berbanding terbalik dari dirimu beberapa saat sebelumnya. Aku pun turut tertawa, lebih lebar malah. Karena aku tidak tahu lagi harus bereaksi seperti apa.

Aku tentunya bahagia, sebagai sahabatmu aku senang kau menemukan pendamping yang begitu menginginkanmu untuk menjadi pemimpinnya di masa mendatang. Kau pun, jika kulihat dari matamu, kau juga merasa bahagia saat menemukan bagian jiwa yang sudah lama tak kau temukan. Namun selama ini aku sadar, bahagiaku atas bahagiamu hanyalah cadar dari rasa marah, bingung, cemburu, dan penyesalan yang selama ini aku rasakan.

“Sudah ya, aku mau masuk dulu, mau tidur,” ucapku mencoba mengakhiri pembicaraan.

“Pulang kerja ya?”

“Iya, ngantuk aku, tadi di kantor kepalaku juga pusing.”

Tiba-tiba kau merapatkan bibirmu, dan mencubit kecil pipiku. “Hm… Makanya pola tidur itu dijaga, jangan diforsir.”

Aku sempat membeku, tak tahu harus berbuat apa. Alhasil, hanyalah tawa. “Iya, kemarin keenakan lihat film India sampai malam, trus paginya harus kerja.”

“Dibiasakan tidur cukup.”

“Iya iya, kemarin khilaf.”

“Khilaf kok terus?!” potongmu cepat.

Lagi-lagi aku tertawa. “Lupa, jadinya khilaf. Kamu sih, sejak ada Nyonya jadi nggak pernah ngingetin aku lagi. Inget dulu kita pernah ngapain aja, jangan hanya karena ada Nyonya kamu jadi lupa ya?” Aku tertawa lebar setelah mengatakan itu.

“Duh…” ucapmu pelan, wajahmu kembali datar.

Tak pelak, untuk yang kesekian kalinya aku tertawa. Aku memang tertawa, tapi aku sadar aku harus mengakhiri ini secepatnya. “Sudah ya, tambah pusing aku ketawa terus.”

Saat aku baru saja berbalik, kau menahan lenganku dan menyebut namaku. Aku reflek menoleh, dan mendapati raut wajahmu yang kini telah berubah dari beberapa saat yang lalu.

“Sebentar.”

“Ada apa?” tanyaku.

Kau melepaskan peganganmu dan menatapku. Aku menunggu. Bibirmu bergerak, namun tak mengeluarkan suara apa-apa. Matamu yang tadi menatap lurus ke arahku, kini malah kau palingkan ke segala arah.

“Hei, ada apa?” ulangku dengan intonasi yang lebih tinggi dari sebelumnya.

Kulihat kau seolah tersadar akan sesuatu, lalu matamu kembali menatapku. “Eng… itu… apa…”

Aku mengerutkan alisku menunggumu.

“Em… skri-skripsimu gimana?”

Skripsi?

“Semester berapa ini?” tanyaku hati-hati, mencoba mencari tahu hal lain yang kini kau pikirkan.

“Eh, bukan skripsi.”

“Lalu?”

Kau menggigit bibir bawahmu dan memalingkan muka. Mungkin bagi orang yang tidak tahu, mereka mengira kau enggan untuk meneruskan pembicaraan denganku, tapi bagiku yang tahu siapa dirimu, kau kini tengah menyembunyikan sesuatu.

“Organisasi,” jawabmu setelah sekian saat tak mengeluarkan kata-kata.

Aku menghela napas, sedikit tak habis pikir ternyata sifat lamamu belum berubah. “Kamu kan tahu kalau sekarang sudah bukan masaku,” jawabku datar. Entah mengapa emosiku sedikit terpancing melihatmu masih tak ingin banyak terbuka seperti dulu.

“Oh iya, angkatan baru ya yang jadi pengurus?”

Aku diam tak menyahut.

“Trus gimana para mahasiswa baru? Banyak yang minat gabung gak di sana?”

Sekali lagi kuhela napasku dan sedikit mendekat ke arahmu. “Apa ada sesuatu yang ingin kamu katakan sama aku?”

Tiba-tiba kau menutup mulutmu rapat. Aku terus memandangimu lekat-lekat, dan hal yang tidak pernah aku perkirakan adalah kau yang juga membalas tatapanku. Entah hanya aku yang menyadari atau apa, tapi kita saling memandang cukup lama tanpa mengucap sepatah kata. Untuk yang kesekian puluh kali, aku tetap tak bisa membacanya. Membaca apa yang kini tengah kau sembunyikan dan rasa.

“Oke, kayaknya nggak ada,” ucapku mengakhiri kontak mata ini. Aku bersiap akan berpamitan lagi sebelum akhirnya kau turut membuka mulut.

“Kamu sendiri gimana?”

Aku berbalik dan menatapmu penuh tanya. “Maksudmu?”

“Mungkin…” Kau mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan perkataanmu. “Mungkin ada sesuatu yang ingin kamu bilang ke aku?”

Entah apa yang sebenarnya terjadi saat itu. Namun tiba-tiba saja tanpa aba-aba jantungku berdegup kencang, dasar perutku bergemuruh hebat, dan kepalaku terasa ditekan sesuatu yang kasat mata dari segala arah. Aku menunduk cepat, bahkan untuk mengambil napas saja rasanya begitu sulit.

Aku tahu kau menunggu jawabanku, kau masih memandangku.

Setelah merasa sedikit tenang, perlahan aku memberanikan diri menatapmu. Setenang mungkin aku mencoba berbicara padamu. “Sesuatu apa?”

“Aku nggak tahu.”

Aku terkekeh kecil, menutupi rasa gugupku yang kembali hadir. Benakku bertanya-tanya, benarkah ini saatnya? Inikah saat dimana semua hal yang aku tenggelamkan sekian lama kembali kuangkat ke permukaan? Aku menggigit bibir bawahku dan menatapmu. “Aku juga nggak tahu.”

Kedua alismu bertaut. “Nggak tahu?”

“Yah…” ucapku seraya menghela napas berat. “Aku… nggak tahu harus memulai darimana.”

“Berarti memang ada?”

Aku mendongak menatapmu yang jauh lebih tinggi dariku. Aku mengangguk ragu. “Tapi bukan sekarang,” sahutku cepat.

“Kenapa?” tanyamu cepat dengan sebelah tanganmu yang mencengkeram lenganku erat.

Aku melihat tanganmu sebentar. “Karena aku nggak tahu harus memulai darimana.”

Kau diam. Cengkeramanmu perlahan terlepas. Di dalam hati aku mencoba menebak, sadarkah kau dengan apa yang kau lakukan barusan?

“Susahkah untuk diucapkan?”

Tenggorokkanku terasa sakit untuk mengatakan kalimat persetujuan. Hanya anggukkan yang aku tujukan.

“Kenapa?” Kali ini kau terlihat lebih tenang.

Aku menarik napas. Karena hanya akan menyakiti hati setiap orang, batinku. “Karena ini nggak hanya menyangkut kita.”

Kau kembali diam, sedangkan aku mulai menahan isakan. Tiba-tiba saja aku ingin menangis. Semua gundah dan resah tentang dirimu secara tiba-tiba menyapu bagian paling dalam hatiku. Aku merapatkan bibirku saat merasa pangkal hidungku begitu pedih dan kedua mataku yang mulai memanas. Sama sekali tak ada keberanian bagiku untuk memandangmu. Aku pun mengambil satu langkah mundur dan bersiap pergi dari hadapanmu sebelum aku merasa kau menarik lenganku dan melingkarkan sebelah tanganmu yang bebas di kedua bahuku.

Kau memelukku, tak erat dan tak kuat. Di dalam rengkuhan pundakmu yang begitu menjulang, aku merasakan tanganmu yang masih memegang lenganku sedikit bergetar. Kau tak berkata, namun kau tak juga tak melepaskan semuanya. Dalam diam, kau memelukku sambil menghela napas panjang.

“Mungkin tidak akan sesulit ini kalau sejak dulu rasa peka itu sudah ada,” bisikmu pelan.

Kau mengendurkan kedua tanganmu dan melepasku. Aku tak mengubah sedikitpun posisiku, aku tetap mendongak menghadapmu. Senyum simpulmu terukir, kau pun kembali mengangkat satu tanganmu untuk meremas lenganku.

“Katanya tadi ngantuk, udah sana tidur.”

Sedetik setelah itu, aku sudah tak sanggup untuk menahan genangan air mataku. Aku membalikkan badan cepat, dan berjalan menjauh darimu dengan linangan air mata yang tak dapat kutahan. Aku tak menolehmu lagi. Saat itu yang kuinginkan hanya menumpahkan segalanya yang pernah kupendam. Sesak memang jika harus menumpahkan semuanya secara bersamaan, namun aku juga sadar bahwa rasa sesak ini hanya akan terus berkelanjutan jika aku tidak mengakhiri semuanya sekarang.

.

.

.

Namun ternyata apa yang kupikirkan tidak sepenuhnya benar. Aku yang berharap tidak merasakan rasa sesak itu lagi, malah harus merasakannya sekali lagi.

.

.

.

Hal itu terjadi seminggu setelah kejadian itu. Seminggu itu pula, aku tak pernah bertemu denganmu. Di sisi lain, aku merasa berterimakasih akan hal ini. Bertemu denganmu hanya akan menguak hal yang sudah lalu, namun kurasa Tuhan punya cara lain untuk membuatku kembali terbayang dirimu, yaitu dengan kekasihmu.

Dia gadis yang cantik dan juga baik. Caranya tersenyum dan juga berbicara, memang mengundang setiap pria yang berjalan di dekatnya meluangkan waktu sejenak untuk menolehnya. Tak hanya pria menurutku, namun juga wanita. Contohnya adalah aku.

Saat itu aku mendengar suara kekasihmu yang berjalan di belakangku. Aku pun menoleh, dan dia tersenyum kepadaku.

“Hai, Mbak. Gak pernah ketemu tambah menggoda aja,” sapanya.

Aku turut tersenyum, tertawa malah. “Hahahahaha, kamu juga tambah menggoda.”

“Menggoda siapa nih?”

“Siapa lagi? Dia lah,” sahutku. Tanpa aku menyebutkan namanya, kami berdua tahu siapa yang disebut ‘dia’.

Kekasihmu hanya tertawa, namun itu hanya sesaat sebelum dia menurunkan senyumnya. “Aku kangen dia, Mbak.”

Untuk sesaat aku tak tahu harus berkata apa. Untuk apa juga kekasihmu ini berkata hal demikian di depanku? “Ketemu tiap hari kok kangen. Kurang ta ketemunya?” tanyaku dengan maksud bercanda.

“Apanya yang ketemu tiap hari? Ini aku udah seminggu gak ketemu dia,” jawab kekasihmu.

Sedikit banyak, aku mulai terasa tertarik dengan pembicaraan ini. “Loh? Kenapa? Dia luar kota?”

Kekasihmu menggeleng. “Dia nggak ngampus seminggu ini, Mbak.”

Ada sebuah palu yang terasa menghantam bagian terdalam dadaku. Seketika itu pula aku merasa sekelilingku berputar. Ulu hatiku terasa nyeri, dan aku mulai kesusahan untuk menghirup udara. “Kenapa?” tanyaku terbata dan pelan.

Lagi-lagi kekasihmu menggeleng, namun kali ini berbeda. Aku melihat sedikit genangan air di sepasang mata hitamnya. “Sudah, Mbak ya? Ini aku mau ke rumahnya, mau nengokin,” ucap kekasihmu sambil tersenyum lalu berbalik pergi.

Kekasihmu berjalan menjauh meninggalkanku sendiri tanpa menoleh lagi. Aku, tanpa kutahu apa penyebabnya, dadaku kembali terasa nyeri. Aku tak ingin sesumbar atau apa, tapi aku juga tak bisa membohongi diriku sendiri kalau ini semua ada hubungannya dengan pertemuan terakhir kita.
Seminggu yang lalu…

.

.

.


Ya Tuhan, jagalah dia. Berilah dia kesehatan lahir dan batin. Berilah dia kebahagiaan di tengah banyaknya beban yang harus ia selesaikan. Dan yang terakhir adalah berilah dia seseorang yang mampu melewati segala kesulitan yang menghadangnya di masa sekarang maupun mendatang. Karena aku paham, Tuhan… yang bisa kulakukan hanyalah mendo’akannya dari sini, cukup dengan jarak seperti ini…

Senin, 19 Agustus 2013

Dua Genggaman

Dia tak pernah merasakan rasa takut yang teramat sangat seperti ini. Tidak. Mungkin tidak hanya takut, tapi juga sakit, bingung, dan resah. Sekali lagi, sepasang mata kecoklatan yang berada di balik bingkai kacamata itu melirik sedikit ke arah dua pria yang ada di depannya.
Apa yang harus aku dia lakukan? Dan siapa pria yang akan ia kehendaki untuk menggenggam kedua tangannya di masa mendatang?
.
.
.
Semuanya bermula ketika perpisahan itu tiba. Sebuah perpisahan menyakitkan yang menyisakan sebuah janji di dalamnya.
“Suatu saat nanti kita masih bisa kembali bersatu, kan?”
Kala itu, dia tahu hatinya dipenuhi dengan ketidakrelaan untuk melepas sosok pria yang ia cintai. Walaupun terbilang tidak lama, semua kenangan indah itu seolah membekas di relung hatinya hingga membuatnya sulit untuk melepaskannya satu per satu.
“Iya, kita bisa kembali bersatu.”
Dan jawaban yang ia lontarkan saat itulah yang menjadi bomerangnya sekarang. Pertemuannya kembali dengan pria yang pernah ia cintai beberapa hari yang lalu, mau tidak mau menghadirkan kenangan yang pernah bisa ia lupakan untuk sejenak di masa lalu. Dan juga... janji di antara keduanya sebelum memulai perpisahan.
“Siapa yang akan kamu pilih?”
Pertanyaannya yang lagi-lagi terasa menohok itu langsung membuat sang wanita mengangkat kepala dan membuyarkan lamunannya tentang masa lalu. Takut-takut  ia melirik seorang pria lagi yang ada di depannya. Tatapan wanita itu melunak. Entahlah, mungkin juga merasa bersalah saat memperhatikan wajah pria yang sedari tadi diam itu. Ia tahu, pria itu diam bukan karena tidak peduli.
“Bisakah kita menundanya?”
Wanita itu tahu bahwa raut kekecewaan terpancar jelas pada sosok yang menjadi kunci masa lalunya. Namun ia sendiri bisa apa?
“Kamu bener nggak bisa jawab sekarang, Pik?”
Sakit sekali rasanya mendengar pertanyaan itu. Wanita itu merasa bahwa dirinya tak pantas untuk diharapkan kembali oleh pria yang selama ini menunggunya. Menunggunya di saat ia mampu menjawab semua permintaan pria itu dengan ucapan ‘ya’.
“Aku butuh waktu.”
Jawaban yang singkat, namun mampu membuat raut wajah sang pria yang sedari tadi menatapnya dengan penuh harap itu menjadi sendu.
“Aku percaya kamu, Pik,” ucap sang pria sebelum meninggalkannya berdua di sana. Berdua dengan seseorang yang lain.
Hanya ada hening. Baik sang wanita maupun pria tak mampu mengucapkan barang satu kata. Semuanya berlalu begitu cepat, pertemuan, cinta, jalinan kasih, pintu pernikahan, hingga sebuah masa lalu yang datang mengancam. Semua hal itu seolah berputar mengisi keheningan yang kaku di antara keduanya.
“Kamu mau pulang sekarang?” tanya sang pria.
Sang wanita menatap tak percaya sepasang mata pria yang duduk seraya tersenyum manis di hadapannya. Mengapa mata itu terlihat tenang seperti biasanya? Mata itu seolah menyiratkan bahwa tidak ada satu hal pun yang terjadi di antara mereka. Ya Tuhan, ataukah mata itu berusaha mati-matian untuk menahan semuanya?
“Aku harus bagaimana?”
Perubahan air muka terjadi di wajah sang pria saat pertanyaan itu terlontar sari mulut sang wanita. Menghela napas pelan, ia memilih untuk menundukkan kepalanya. “Semua tergantung di kamu.”
“Kamu tidak menginginkanku?”
Tak di sangka, sang pria mengeluarkan tawa renyahnya. “Tidakkah kamu melihat bagaimana usahaku selama ini untuk mendapatkanmu?”
Giliran sang wanita yang menundukkan kepalanya. Terlalu panjang jika semua hal itu ia kenang sekarang. Pengorbanan, kerelaan, perhatian, cinta, dan komitmen yang diberikan pria di depannya ini pada masa lampau bahkan sanggup membuatnya untuk membuka hati untuk yang kedua kalinya.
“Aku sangat menginginkanmu, Pik. Aku menginginkanmu karena Tuhan.”
Sebaris kalimat itu pada akhirnya mampu menciptakan setetes air mata di kedua mata sang wanita. Pertahanannya runtuh sudah. Keegoisan dan jalan hidup yang harus ia tentukan kini kembali mengoyak batinnya tiada ampun. Pria yang ia cintai karena hatinya, atau pria yang ia cintai karena Tuhannya.
“Aku bimbang,” ucap sang wanita setelah menangis menumpahkan seluruh beban hatinya.
“Semua jawaban berada penuh di tangan kamu,” sahut sang pria. “Apapun jalan yang kamu pilih, semoga itu benar-benar yang terbaik buat kamu.”
“Aku nggak mau menyakiti siapapun.”
Tatapan sang pria tak terbaca sedikit pun oleh sang wanita. Sepasang mata yang selalu menenangkan itu terlihat begitu berat. Kesedihan terpancar jelas di dalamnya.
“Jika nanti bukan aku yang kamu pilih, aku ikhlas.”
Sang wanita mengangkat kepalanya cepat. Lagi-lagi ia tak menyangka jika itu kalimat yang terucap dari sang pria.
“Aku mencintaimu. Selama ini aku selalu yakin kalau kamu pecahan yang lain dari diriku. Walaupun nantinya akan terasa sangat sakit, setidaknya aku ingin kamu selalu mengingatku.” Sang pria menahan kalimatnya untuk mengambil napas. Sesak sekali rasanya, dan ia pun memilih objek lain karena tak sanggup lagi menatap sepasang mata sang wanita. “Kembalilah padanya jika kamu sangat mencintainya. Atau mungkin... jika cintamu padanya lebih besar dari keinginanmu untuk berada di sisiku.”
Kalimat terakhir yang diucapkan sang pria sebelum pergi mampu menciptakan sebuah rasa sakit di dasar perut sang wanita. Tak ayal, air mata itu pun kembali menunjukkan kebimbangannya.
.
.
.
Ya Tuhan... mengapa Kau gariskan aku takdir seperti ini? Mengapa Kau membuatku mengenal makna cinta di masa lalu jika pada akhirnya Kau pisahkan aku dengan cinta itu? Lalu setelah semuanya berlalu, mengapa Kau kembali mempertemukan aku dengan ketulusan yang tiada tara jika pada akhirnya aku dihadapkan pada pilihan menyakitkan seperti ini? Aku mencintai keduanya, namun aku juga tak bisa memiliki kedua-duanya.

Siapa yang harus aku genggam?

Rabu, 24 Juli 2013

The Meet

Oke, ini memang aneh. Tapi selama lebih dari tiga jam aku di cafe ini, tak henti-hentinya aku memandang objek yang berada di sudut ruangan sana. Cahaya yang berpendar redup, alunan musik klasik, serta sunyinya suara yang tercipta di ruangan ini semakin membuat konsentrasiku bertuju kepadanya.

Tuhan... siapa orang itu?

Kulirik lagi dia dari ujung latop yang sejajar dengan hidungku. Dia bukanlah pria yang tampan kukira. Lihat, kulitnya saja terlihat seperti baru saja berjemur lebih dari dua hari. Dia hitam. Yah, menurutku dia bisa dikategorikan orang berkulit hitam. Tapi... kenapa kulit hitamnya yang dilapisi t-shirt orange berkerah v-neck itu semakin membuatnya terlihat jantan? Lengannya yang tidak seberapa besar seolah-olah mengundang imajinasiku untuk berada di dalam pelukannya.

Tidak tidak. Ya Tuhan... alihkan perhatianku.

Kufokuskan lagi pandangan ke layar laptopku. Oke, ini sudah hampir akhir bulan, dan lusa adalah deadline ku mengerjakan laporan keuangan kantor. Mau tidak mau aku harus bisa mencicil kekurangannya sekarang supaya namaku masih bisa bertahta di meja kantorku.

“Green tea satu.”

Demi usaha keras bosku untuk menumbuhkan rambut di kepala botaknya, aku menoleh cepat ke arah sumber suara itu. Tempat dudukku yang memang bersebelahan dengan bar memaksaku untuk mengalihkan konsentrasi yang baru saja terkumpul pada pekerjaanku. Suara itu... astaga... begitu memikat dengan logat timurnya. Berat, namun sedikit serak. Sebaris kalimat itu membuat otakku menduga bahwa pria berkaos orange itu mungkin berasal dari pulau Sulawesi atau Lombok.

Sedetik setelahnya, sepasang mata dengan iris coklat gelap itu seakan mempergokiku karena sedari tadi telah mengawasinya. Oh Tuhan, jika saja aku tak menyadari warna matanya, aku pasti akan langsung bisa memalingkan muka. Tapi mengapa aku malah terpaku menatapnya?

Senyuman itu tercipta. Senyuman yang sedari awal aku pertanyakan bentuknya. Yah... senyuman itu untukku. Senyuman yang semakin membuatnya terlihat mempesona itu untukku. Dengan kesadaran untuk mengontrol diri yang masih tersisa, kukembangkan senyumku dengan ragu dan kaku. Di saat seperti ini, bisa-bisanya aku malah menambahi dengan sapaan singkat?

“Hai,” ucapnya membalas sapaanku, tentunya kali ini dengan senyum ramah yang lebih merekah dari sebelumnya.

It must be over!!

Aku menunggunya kembali ke tempatnya, namun aku tak benar-benar memandangnya lagi. Di dalam hati, aku menegaskan bahwa aku tak boleh membuat diriku malu lagi. Cukup dengan hal itu, yah  cukup dengan sapaan itu.

Setelah kupastikan dari sudut mataku dia sudah duduk, dengan segera aku meraih dan menata seluruh dokumen yang kuletakan di atas meja. Gerakanku cepat, namun kupastikan tidak terkesan terburu-buru. Setelah semuanya berada di dalam map, kututup laptopku dan memasukannya ke dalam tas. Bagaimanapun aku harus cepat pergi dari sini. Tak tahu di mana lagi aku harus menyelesaikan pekerjaanku, yang penting aku harus pergi terlebih dahulu.

Aku keluar, setelah melewati pintu cafe, aku segera mencai kunci mobil di kantong tas ku.

“Kunci kamu.”

Aku menoleh cepat. Pria itu, pria yang membuatku gila hanya dalam beberapa menit itu berdiri di hadapanku. Kami berdiri begitu dekat, aku bahkan bisa mencium samar aroma parfumnya. Paco Rabbane.

“Eh.. Ma-makasih,” sahutku gagap. Ya Tuhan, seharusnya aku lebih bisa mengontrol diri.

“Sama-sama, Sarah.”

Aku mengerjap. Barusan dia memanggilku Sarah. Aku membuka mulut, mencari bagaimana susunan kata yang tepat untuk menanyakan bagaimana dia bisa tahu namaku.

“Gantungan kunci mobilmu,” jawab pria itu seolah-olah sudah membaca pikiranku.

Oh ya, gantungan kunciku.

Aku mengangguk paham. Ya, memangnya darimana lagi dia bisa tahu namaku? “Sekali lagi makasih ya...” Oke, kali ini giliranku yang harus menyebutkan namanya.

“Leo.”

“Ah ya.” Leo! Namanya Leo! Ya Tuhan... “Makasih, Leo. Aku emang lupaan kadang-kadang.”

Leo kembali tersenyum. Senyuman yang sama mempesonanya dengan yang tadi.

“Oke, aku harus pergi dulu,” ucapku memecah kesunyian yang sempat tercipta.

“Ya, hati-hati.”

Aku memutar badan. Berjalan kaku menuju mobil. Yah, bagaimana tidak kaku jika semua hal yang tidak terduga terjadi begitu cepat hari ini. Baru saja aku membuka pintu mobil, suara Leo yang memanggil namaku dan derap langkah yang mendekat membuatku kembali menoleh.

“Emmm...” Leo menggaruk kepalanya. Aku jadi sedikit ilfeel. Apa pria ini kutuan? “Kamu sering ke cafe sini kan?”

Aku mengangguk.

“Kalau misalnya sewaktu-waktu kita ketemu lagi buat ngobrol-ngobrol bareng bisa, kan?”

Aku ternganga. Tuhan... apakah telingaku tersumpal sesuatu?

“Emm.. gini. Aku kan baru tiga hari di kota ini, aku juga kadang nggak ngerti sama bahasa asli sini. Jadi kalau misalnya ketemu, trus kita ngobrol-ngobrol tentang kota ini boleh kan?” Senyuman Leo di akhir kalimat pria itu entah mengapa seperti memberitahuku bahwa aku harus bilang ‘iya’.

“Boleh. Lagian aku juga suka tempat ini.”

Leo tertawa. “Oke, kalau seperti ini kan aku nggak perlu sewa tour guide.”

Kali ini aku yang tertawa. “Aku nggak gratis loh yaaa...”

“Haha, iya aku tahu. Jadi kapan kira-kira kita bisa ketemu lagi di sini?”

Aku menelan ludah. Terkejut seklaigus berpikir. “Gimana kalau lusa? Saat makan siang.

“Usulan bagus.”

Aku tersenyum, semata-mata menutupi rasa gugupku.

“Lusa, makan siang. Aku traktir deh!” ucap Leo.

Aku hanya bisa mengangguk-angguk setuju. “Boleh. Oke, kalau begitu aku masuk dulu ya?”

Leo mengangguk. “Hati-hati.”

Setelahnya, aku masuk ke dalam mobil. Dari kaca spion, kulihat Leo malambaikan tangannya. Aku tersenyum. Memasukkan gigi, aku pun mulai menjalankan mobil.
.
.
.
Tuhan, hari ini serasa mimpi...
.
.

.

Minggu, 21 Juli 2013

I Can Feel Your :)

Kelas yang tidak terlalu luas, jumlah jendela yang sedikit, dan kipas angin yang menyala pelan. Oh... sungguh itu terasa menyiksa bagi Kirana, apalagi ditambah suara bising yang mendengung dari para teman-temannya yang entah membicarakan apa.

Hari ini jumlah mata pelajarannya tidak begitu banyak. Mendekati jam-jam terakhir seperti ini, merupakan hal wajar jika guru tidak masuk ke kelas untuk mengajar murid-muridnya. Alasannya sih banyak pekerjaan yang harus mereka lakukan, lagi pula mereka juga memberikan catatan sebagai pengganti keabsenan mereka. Namun Kirana tak mau semudah itu mempercayainya. Bisa saja kan mereka belanja? Pergi ke salon? Tertawa-tertawa sambil menyeruput teh atau kopi? Pasti ada alasan lain selain alasan klasik itu.

Hahh... memang beginilah terlahir sebagai orang yang tidak mudah percaya. Selalu berpikir yang tidak-tidak.

Kirana mengubah posisi kepalanya yang ia letakkan di atas kedua tangannya yang ia lipat di atas meja, ia sedikit mengutuk nasibnya yang masuk ke jurusan broadcasting. Sebelumnya ia memilih jurusan desain, namun jumlah nilainya sama sekali tak mengijinkannya. Andai saja ia bisa masuk kelas desain, teman-temannya pasti tidak akan seberisik ini, karena menurut rumor, anak-anak jurusan desain cenderung sopan dibandingkan teman-temannya yang bisa dibilang sedikit bar bar.

Suara musik mellow yang mengalun keras dari ear phone yang terpasang di telinganya, membuat Kirana bisa merasa tenang. Ia bahkan mulai mengantuk dalam keadaan berisik seperti ini. Dengan mata yang mulai sayu, Kirana memperhatikan Mira yang tengah bergurau dengan teman sekelasnya yang lain.

Kirana menghela napas pelan. Akan sangat menyenangkan jika ia seperti Mira. Cewek manis berambut panjang yang kini menjadi teman sebangkunya itu memiliki kepribadian yang berbeda dengannya. Mira begitu menyenangkan bagi semua orang. Cewek itu selalu terlihat anggun, senyumnya juga terlihat menyenangkan. Dari selentingan kabar yang ia dengar, banyak anak-anak cowok di sekolahnya yang naksir Mira. Bahkan diantaranya adalah kakak kelas.

Sentuhan pelan di pundak Kirana tidak terasa nyata bagi cewek itu. Entah karena mengantuk atau memang tidak peka, Kirana tidak terlalu menanggapinya dan kembali mencoba untuk memejamkan matanya.

"Tau Mira nggak?"

Kali ini tidak ada yang tidak nyata. Suara itu bahkan sampai terdengar di telinga Kirana yang disumpal ear phone. Menegakkan tubuhnya malas, Kirana menunjuk posisi Mira berada tanpa repot-repot memandang dulu orang yang mengajaknya berbicara. "Di sana."

Kirana menegang saat mengetahui siapa orang yang berdiri di samping bangkunya. Jantungnya terasa berdetak lebih cepat dari keadaan normal. Mulutnya terbuka sedikit, tak percaya dengan apa yang ia lihat. Alhasil, saat ia memanggil Mira, suaranya terdengar aneh. "Mir! Mira!" panggil Kirana sambil terus menatap orang itu.

Tak butuh panggilan ketiga untuk membuat Mira datang. Cewek itu langsung menghampiri Kirana dengan senyum manisnya. "Eh, Evan. Ada apa?"

Ah... Kirana langsung tahu kenapa Mira tersenyum seperti itu.

"Bisa nitip ini nggak?"

"Apa ini?" Mira ganti bertanya saat cowok yang bernama Evan itu menyodorkan sebuah kertas.

"Form pendaftaran ekskul panah. Kamu ikut kan?"

Mira mengangguk.

"Nanti aku ada seleksi ekskul sepak bola, jadi nggak bisa dateng buat ngasih itu."

Oke, Kirana mulai paham. Jadi Evan nitipin pendaftaran ekskul panah ke Mira karena cowok itu harus ikut seleksi ekskul sepak bola.

Tapi... kenapa harus Mira? Dan kenapa Evan langsung tahu Mira ikut ekskul panahan?

"Oke, titipin aku aja nggak papa. Nanti pasti aku sampaikan alasan kamu."

Untuk kedua kalinya setelah bertemu dengan Evan, Kirana melihat senyum cowok itu sekali lagi. Namun senyum kali ini bukan senyum geli yang ia lihat beberapa hari yang lalu.

"Thanks yah?" ucap Evan.

Mira mengangguk, tentu dengan senyumnya seperti biasa.

Saat itu, Kirana mengira Evan akan pergi begitu saja meninggalkan ruang kelasnya. Namun hal yang sebenarnya terjadi adalah Evan menyunggingkan senyum untuknya sambil menggumam kalimat pamit. Demi apapun yang membuat Kirana bete hari itu, Kirana merasa seperti ada sebuah benda yang menggeliat di perutnya. Jantungnya berdetak kian cepat, sedangkan pipinya terasa terbakar hingga ke belakang telinga.
.
.
Astagaa... perasaan apa ini?
.
.
.
"Kirana?"

Kirana menoleh cepat ke arah Mira. Sedikit gelagapan menanggapi cewek yang kini melihatnya heran itu. "Y-ya, Mir?"

"Kamu sakit? Wajahmu kok merah?"

Omaigad....

"Nggak. Enggak kok, Mir."

"Jangan bohong loh!" Mira mengacungkan jari telunjuknya ke arah Mira. "Daritadi kamu kelihatan lemes, kamu pusing yah?"

Kirana melepas ear phone-nya, mencari topik lain untuk dibicarakan. "Jadi kamu ikut ekskul panah?"

Mira terlihat curiga, mungkin karena Kirana yang tiba-tiba memutar arah pembicaraan. Tapi ujung-ujungnya, cewek itu toh menyahut juga. "Iya. Kamu jadi ikut apa?"

"Nggak tahu," jawab Kirana enteng. Ia memang malas mengikuti kegiatan-kegiatan seperti itu. "Kamu suka panahan?"

Mira mengangguk. "Dari SMP."

Kirana mulai tergelitik pertanyaan yang tadi sempat muncul di pikirannya. "Trus kok cowok tadi nitip ke kamu? Kalian temenan?"

"Iya, Evan temen SMP-ku. Kita emang nggak seberapa deket sih, yah... tapi setidaknya kenal lah."

Oh... jadi seperti itu.

Jadi itu alasan mengapa Evan mempercayai Mira untuk menyerahkan form-nya, dan mengapa cowok itu langsung tahu Mira ikut kegiatan panahan.

Mereka adalah teman. Yah.. teman.
.
.
.
Mengetahui hal itu, entah kenapa Kirana merasa sedikit lega.
.
.
.

Minggu, 26 Mei 2013

"Kamu...?"

Untuk yang kesekian kalinya Kirana menghembuskan napasnya kasar. Hari ini adalah hari yang sangat tidak bersahabat baginya. Hari dimana ia memulai pengalaman baru sebagai siswa SMK, ternyata membuat dirinya semakin merasa asing seperti biasanya.

Kirana memperhatikan beberapa cewek yang sedang mengobrol sambil sesekali tertawa di meja kantin. Entah apa yang mereka bicarakan, Kirana tidak begitu tertarik. Tiga hari menjalani masa orientasi membuatnya sedikit mengenal para cewek-cewek itu. Banyak diantara mereka bertingkah sok pemberani dan sok pemberontak. Tidak ditunjukkan secara langsung pun, Kirana dapat memahami hal itu dari cara mereka berbicara. Klasik. Setiap orang pasti akan menunjukkan kesan mengagumkan tentang dirinya pada saat awal perkenalan. Kirana yakin, empat bulan setelah perkenalan awal, mereka pasti akan menunjukkan siapa diri mereka sebenarnya.

Angin yang berhembus pelan mengibarkan rambut sebahu Kirana yang dikuncir satu di belakang rambutnya. Nyaman sekali duduk sendirian di bawah pohon seperti ini.  Walaupun sedari tadi banyak yang memandangnya heran, Kirana mencoba tak ambil peduli.

"Kirana?"

Kirana menoleh. Terlihat seorang cewek berambut panjang melambaikan tangan sambil mendekat ke arahnya. Wajah cewek ini tak asing bagi Kirana.

"Kamu ngapain di sini?"

Ooh... Kirana ingat. Cewek ini salah satu teman sekelasnya yang baru. Tapi siapa ya namanya? "Duduk-duduk aja cari angin."

Cewek itu ngangguk paham. Dia pun turut duduk di samping Kirana. "Mana Shasa?"

Kirana sedikit terkejut saat cewek di depannya ini menanyakan teman sebangkunya yang baru. Ia pun mengedikkan dagunya ke arah kantin. "Tadi dia di sana, tapi gak tau sekarang di mana."

"Kamu nggak ke sana?"

"Males."

"Kenapa?"

"Di sana rame banget. Eh, nama kamu siapa? Aku lupa." Bohong. Yang benar adalah tidak tahu, bukan lupa.

Cewek itu tersenyum. "Mira."

"Oh iya. Mira," ucap Kirana sambil menepuk jidatnya seolah-olah teringat sesuatu. Akting yang buruk.

"Trus kamu gak jajan nih? Lima menit lagi masuk kelas loh."

Kirana diam. Menimbang apa lebih mementingkan rasa malasnya untuk ke kantin, atau keadaan perutnya yang keroncongan.

"Kalau males ke kantin, kita cari di depan aja," ucap Mira seolah-olah paham tentang apa yang dipikirkan Kirana.

"Ada pentol gak sih di depan?"

"Ada. Cireng, batagor, otak-otak, siomay, semua ada."

Tanpa berpikir panjang, Kirana langsung saja mengamit tangan Mira dan mengajak cewek itu pergi dari sana. Di pikirannya, kini terbayang rasa pentol yang sebentar lagi akan dia rasakan. Dikatakan maniak pentol pun, Kirana menerima julukan itu dengan senang hati karena memang begitulah sebenarnya.

Namun apa yang diharapkan Kirana tak seperti apa yang terjadi sekarang. Kirana pun berhenti tak jauh dari gerbang sekolahnya dengan masih memegang tangan Mira di belakangnya. "Nggak di kantin, nggak di sini, semuanya penuh orang, Mir."

Mira tak berkomentar, sedangkan Kirana masih setia meratapi nasib pentolnya. Masalah yang timbul masihlah sama. Keramaian. Entah kenapa Kirana membenci hal itu. Sekarang apa yang bisa ia lakukan? Menoleh kesana-kemari pun percuma. Yang sempat terlihat dalam penglihatan Kirana malah seorang cowok yang berjalan mendekati Mira, tapi cewek berambut sebahu itu tidak ingin memikirkan hal itu. Perutnya sudah keroncongan minta diisi.

Pandangan Kirana beralih ke penjual otak-otak yang sepi pembeli. Kali ini bentrok dua kubu seakan bergejolak di pikirannya. Di satu sisi ia tidak terlalu menyukai otak-otak, tapi di sisi lainnya lagi merasa sangat lapar. Sebentar lagi bel masuk berbunyi, kalau Kirana terus berdiri di sini sambil menunggu gerbang sekolahnya sepi, mustahil ia akan bisa masuk kelas tepat waktu.

Setelah menentukan pilihan akhirnya, Kirana kembali menarik tangan Mira dan menarik tangan teman barunya itu tanpa menoleh. Hatinya dengan mantap memilih otak-otak sebagai penghilang laparnya.

"Beli otak-otak aja, Mir! Nungguin pentol kelamaan," cerocos Kirana. Di belakangnya, Kirana tak mendengar Mira berkomentar. Kirana pun mempercepat langkahnya. Entah mengapa Kirana merasa Mira lebih berat dari sebelumnya.

"Otak-otak satu pedas, Pak," pesan Kirana. Cewek itu mengibaskan kunciran rambutnya yang sedikit lepek karena keringat. Di sebelahnya, Mira tidak mengatakan apapun, dan itu menarik perhatian Kirana yang sedari tadi sedikit merasa heran.

"Kamu nggak pes-en, Mir?" suara Kirana tenggelam di dua suku kata terakhir. Kali ini ia sudah benar-benar membalikkan badannya, namun apa yang ia lihat sekarang membuat seluruh tulangnya seakan lumpuh seketika.

Sosok yang Kirana lihat sekarang tengah melipat kedua tangan di depan dada dan terus memandang Kirana yang lebih pendek darinya. "Mira gak suka otak-otak. Dia maunya batagor."

Langsung saja Kirana mundur selangkah. Dia masih tidak percaya apa yang dilihatnya sekarang. Kenapa bukan Mira? Kenapa seorang cowok yang nggak Kirana kenal? Dan bodohnya kenapa Kirana baru menyadarinya sekarang? Dilihatnya tempat dimana Mira berdiri sedari tadi. Cewek berambut panjang itu hanya menutup mulutnya sambil memandang kaget ke arah Kirana. Di dalam hati, Kirana ingin sekali menggigit Mira. Bisa-bisanya temannya itu hanya diam saja dan membiarkannya berada dalam posisi memalukan seperti ini?

"Tuh, otak-otakmu!"

Lagi-lagi Kirana terlihat linglung. Ia pun mengambil bungkusan otak-otak yang ia pesan dengan kaku layaknya robot yang tidak berpelumas. "Enggg... anu..." Entah kenapa susah sekali permintaan maaf itu terucap.

"Anu apa?"

"M-maaf ya?"

Cowok itu tiba-tiba tersenyum, entah karena apa. Wajahnya yang sedari tadi terlihat kaku, kini terlihat sumringah. "Lain kali noleh dulu sebelum narik tangan orang." Setelah mengatakan itu, cowok tersebut pergi begitu saja dan meninggalkan Kirana yang masih terpaku. Bener-bener deh, Kirana terlihat begitu konyol sekarang.

"Kirana?"

Panggilan Mira dari jauh segera membuat perhatian Kirana teralih dari punggung cowok itu. Terlihat di sana Mira tengah melambai-lambaikan tangan dan menyuruh Kirana untuk cepat menghampirinya. Tak banyak berpikir, Kirana pun melangkahkan kakinya menghampiri Mira.

Namun sekali lagi Kirana menoleh ke punggung cowok tadi. Punggung itu kini sudah tak terlihat karena banyaknya punggung yang lain di sana. Entah kenapa, tiba-tiba Kirana sungguh ingin melihat punggung itu lagi.
.
.
.
Ah, siapa ya nama cowok itu?
.
.
.
.