Melihatmu, mengenalmu, menjadi
temanmu, menjadi orang terdekatmu, merasakan degupan aneh saat bersamamu,
merasakan banyak kenangan tak terlupakan bersamamu, mencoba tak menghiraukan
dalamnya tatapanmu, mengetahui siapa pemilikmu, memendam semua yang kurasa
tentangmu, dan… menahan segala gejolak emosi yang berkecamuk tiap kali aku
bertemu denganmu.
Temanku… andai engkau tau isi
hatiku.
.
.
.
Entah kata pertama apa yang harus
aku ungkapkan ketika aku melihatmu sore itu. Aku merasa seluruh tubuhku
tiba-tiba bereaksi dengan sendirinya. Jantungku berdegup cepat, bibirku
seakan-akan selalu ingin mengukir senyum, dan berbagai candaan yang biasa kita lakukan seolah-olah
mengantri di dalam mulutku untuk dikeluarkan. Namun aku juga tak melupakan
reaksi yang lain, yaitu reaksi untuk mengurungkan semua reaksiku itu.
Kau duduk di motormu,
memunggungiku, dan tak melihatku. Seperti biasa, aku selalu merasa bahwa
punggung lebarmu itu mengemban banyak tanggung jawab di atasnya. Tanpa aku
mendekat pun aku tahu apa yang sedang kau lakukan, yah… kau pasti sedang sibuk dengan ponselmu. Tanpa
berniat membuatmu menoleh, aku memilih jarak parkir yang cukup jauh dari
tempatmu. Ujung dan ujung. Kurasa jarak yang aku pilih adalah jarak yang aman,
namun ternayata tidak saat kau menoleh perlahan.
Matamu yang menatapku seolah-olah
ingin berkata sesuatu, namun hal itu tak kunjung keluar juga dari mulutmu. Mencoba
setenang mungkin, aku menyunggingkan senyumku dan menyapa namamu. Kau masih
diam dan tak merespon, entah ini sifat barumu atau apa. Sudah kepalang basah
menurutku jika ingin menghindar darimu seakrang juga. Seturunku dari motor, aku
berjalan mendekatimu hanya untuk sekedar berbasa-basi. Yah… aku harap memang
hanya untuk sekedar berbasa-basi karena aku tidak ingin berharap lebih.
“Ngapain di sini?” tanyaku seraya
semakin mendekatimu.
“Nunggu,” jawabmu singkat dan
dengan raut wajah datarmu seperti biasa.
Aku melebarkan senyumanku, bukan
senyuman bahagia tentunya karena aku tahu siapa yang di tunggu. “Nunggu Nyonya,
ya?”
Kau hanya tertawa. Sungguh berbanding
terbalik dari dirimu beberapa saat sebelumnya. Aku pun turut tertawa, lebih
lebar malah. Karena aku tidak tahu lagi harus bereaksi seperti apa.
Aku tentunya bahagia, sebagai
sahabatmu aku senang kau menemukan pendamping yang begitu menginginkanmu untuk
menjadi pemimpinnya di masa mendatang. Kau pun, jika kulihat dari matamu, kau
juga merasa bahagia saat menemukan bagian jiwa yang sudah lama tak kau temukan.
Namun selama ini aku sadar, bahagiaku atas bahagiamu hanyalah cadar dari rasa
marah, bingung, cemburu, dan penyesalan yang selama ini aku rasakan.
“Sudah ya, aku mau masuk dulu,
mau tidur,” ucapku mencoba mengakhiri pembicaraan.
“Pulang kerja ya?”
“Iya, ngantuk aku, tadi di kantor
kepalaku juga pusing.”
Tiba-tiba kau merapatkan bibirmu,
dan mencubit kecil pipiku. “Hm… Makanya pola tidur itu dijaga, jangan diforsir.”
Aku sempat membeku, tak tahu
harus berbuat apa. Alhasil, hanyalah tawa. “Iya, kemarin keenakan lihat film
India sampai malam, trus paginya harus kerja.”
“Dibiasakan tidur cukup.”
“Iya iya, kemarin khilaf.”
“Khilaf kok terus?!” potongmu
cepat.
Lagi-lagi aku tertawa. “Lupa,
jadinya khilaf. Kamu sih, sejak ada Nyonya jadi nggak pernah ngingetin aku
lagi. Inget dulu kita pernah ngapain aja, jangan hanya karena ada Nyonya kamu
jadi lupa ya?” Aku tertawa lebar setelah mengatakan itu.
“Duh…” ucapmu pelan, wajahmu
kembali datar.
Tak pelak, untuk yang kesekian
kalinya aku tertawa. Aku memang tertawa, tapi aku sadar aku harus mengakhiri
ini secepatnya. “Sudah ya, tambah pusing aku ketawa terus.”
Saat aku baru saja berbalik, kau
menahan lenganku dan menyebut namaku. Aku reflek menoleh, dan mendapati raut
wajahmu yang kini telah berubah dari beberapa saat yang lalu.
“Sebentar.”
“Ada apa?” tanyaku.
Kau melepaskan peganganmu dan
menatapku. Aku menunggu. Bibirmu bergerak, namun tak mengeluarkan suara
apa-apa. Matamu yang tadi menatap lurus ke arahku, kini malah kau palingkan ke
segala arah.
“Hei, ada apa?” ulangku dengan
intonasi yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Kulihat kau seolah tersadar akan
sesuatu, lalu matamu kembali menatapku. “Eng… itu… apa…”
Aku mengerutkan alisku
menunggumu.
“Em… skri-skripsimu gimana?”
Skripsi?
“Semester berapa ini?” tanyaku
hati-hati, mencoba mencari tahu hal lain yang kini kau pikirkan.
“Eh, bukan skripsi.”
“Lalu?”
Kau menggigit bibir bawahmu dan
memalingkan muka. Mungkin bagi orang yang tidak tahu, mereka mengira kau enggan
untuk meneruskan pembicaraan denganku, tapi bagiku yang tahu siapa dirimu, kau
kini tengah menyembunyikan sesuatu.
“Organisasi,” jawabmu setelah
sekian saat tak mengeluarkan kata-kata.
Aku menghela napas, sedikit tak
habis pikir ternyata sifat lamamu belum berubah. “Kamu kan tahu kalau sekarang
sudah bukan masaku,” jawabku datar. Entah mengapa emosiku sedikit terpancing
melihatmu masih tak ingin banyak terbuka seperti dulu.
“Oh iya, angkatan baru ya yang
jadi pengurus?”
Aku diam tak menyahut.
“Trus gimana para mahasiswa baru?
Banyak yang minat gabung gak di sana?”
Sekali lagi kuhela napasku dan
sedikit mendekat ke arahmu. “Apa ada sesuatu yang ingin kamu katakan sama aku?”
Tiba-tiba kau menutup mulutmu
rapat. Aku terus memandangimu lekat-lekat, dan hal yang tidak pernah aku
perkirakan adalah kau yang juga membalas tatapanku. Entah hanya aku yang
menyadari atau apa, tapi kita saling memandang cukup lama tanpa mengucap
sepatah kata. Untuk yang kesekian puluh kali, aku tetap tak bisa membacanya.
Membaca apa yang kini tengah kau sembunyikan dan rasa.
“Oke, kayaknya nggak ada,” ucapku
mengakhiri kontak mata ini. Aku bersiap akan berpamitan lagi sebelum akhirnya
kau turut membuka mulut.
“Kamu sendiri gimana?”
Aku berbalik dan menatapmu penuh
tanya. “Maksudmu?”
“Mungkin…” Kau mengambil napas dalam-dalam
sebelum melanjutkan perkataanmu. “Mungkin ada sesuatu yang ingin kamu bilang ke
aku?”
Entah apa yang sebenarnya terjadi
saat itu. Namun tiba-tiba saja tanpa aba-aba jantungku berdegup kencang, dasar
perutku bergemuruh hebat, dan kepalaku terasa ditekan sesuatu yang kasat mata
dari segala arah. Aku menunduk cepat, bahkan untuk mengambil napas saja rasanya
begitu sulit.
Aku tahu kau menunggu jawabanku,
kau masih memandangku.
Setelah merasa sedikit tenang,
perlahan aku memberanikan diri menatapmu. Setenang mungkin aku mencoba
berbicara padamu. “Sesuatu apa?”
“Aku nggak tahu.”
Aku terkekeh kecil, menutupi rasa
gugupku yang kembali hadir. Benakku bertanya-tanya, benarkah ini saatnya?
Inikah saat dimana semua hal yang aku tenggelamkan sekian lama kembali kuangkat
ke permukaan? Aku menggigit bibir bawahku dan menatapmu. “Aku juga nggak tahu.”
Kedua alismu bertaut. “Nggak
tahu?”
“Yah…” ucapku seraya menghela
napas berat. “Aku… nggak tahu harus memulai darimana.”
“Berarti memang ada?”
Aku mendongak menatapmu yang jauh
lebih tinggi dariku. Aku mengangguk ragu. “Tapi bukan sekarang,” sahutku cepat.
“Kenapa?” tanyamu cepat dengan
sebelah tanganmu yang mencengkeram lenganku erat.
Aku melihat tanganmu sebentar. “Karena
aku nggak tahu harus memulai darimana.”
Kau diam. Cengkeramanmu perlahan
terlepas. Di dalam hati aku mencoba menebak, sadarkah kau dengan apa yang kau
lakukan barusan?
“Susahkah untuk diucapkan?”
Tenggorokkanku terasa sakit untuk
mengatakan kalimat persetujuan. Hanya anggukkan yang aku tujukan.
“Kenapa?” Kali ini kau terlihat
lebih tenang.
Aku menarik napas. Karena hanya
akan menyakiti hati setiap orang, batinku. “Karena ini nggak hanya menyangkut
kita.”
Kau kembali diam, sedangkan aku
mulai menahan isakan. Tiba-tiba saja aku ingin menangis. Semua gundah dan resah
tentang dirimu secara tiba-tiba menyapu bagian paling dalam hatiku. Aku
merapatkan bibirku saat merasa pangkal hidungku begitu pedih dan kedua mataku
yang mulai memanas. Sama sekali tak ada keberanian bagiku untuk memandangmu.
Aku pun mengambil satu langkah mundur dan bersiap pergi dari hadapanmu sebelum
aku merasa kau menarik lenganku dan melingkarkan sebelah tanganmu yang bebas di
kedua bahuku.
Kau memelukku, tak erat dan tak
kuat. Di dalam rengkuhan pundakmu yang begitu menjulang, aku merasakan tanganmu
yang masih memegang lenganku sedikit bergetar. Kau tak berkata, namun kau tak
juga tak melepaskan semuanya. Dalam diam, kau memelukku sambil menghela napas
panjang.
“Mungkin tidak akan sesulit ini
kalau sejak dulu rasa peka itu sudah ada,” bisikmu pelan.
Kau mengendurkan kedua tanganmu
dan melepasku. Aku tak mengubah sedikitpun posisiku, aku tetap mendongak
menghadapmu. Senyum simpulmu terukir, kau pun kembali mengangkat satu tanganmu
untuk meremas lenganku.
“Katanya tadi ngantuk, udah sana
tidur.”
Sedetik setelah itu, aku sudah
tak sanggup untuk menahan genangan air mataku. Aku membalikkan badan cepat, dan
berjalan menjauh darimu dengan linangan air mata yang tak dapat kutahan. Aku
tak menolehmu lagi. Saat itu yang kuinginkan hanya menumpahkan segalanya yang
pernah kupendam. Sesak memang jika harus menumpahkan semuanya secara bersamaan,
namun aku juga sadar bahwa rasa sesak ini hanya akan terus berkelanjutan jika
aku tidak mengakhiri semuanya sekarang.
.
.
.
Namun ternyata apa yang
kupikirkan tidak sepenuhnya benar. Aku yang berharap tidak merasakan rasa sesak
itu lagi, malah harus merasakannya sekali lagi.
.
.
.
Hal itu terjadi seminggu setelah
kejadian itu. Seminggu itu pula, aku tak pernah bertemu denganmu. Di sisi lain,
aku merasa berterimakasih akan hal ini. Bertemu denganmu hanya akan menguak hal
yang sudah lalu, namun kurasa Tuhan punya cara lain untuk membuatku kembali
terbayang dirimu, yaitu dengan kekasihmu.
Dia gadis yang cantik dan juga
baik. Caranya tersenyum dan juga berbicara, memang mengundang setiap pria yang
berjalan di dekatnya meluangkan waktu sejenak untuk menolehnya. Tak hanya pria
menurutku, namun juga wanita. Contohnya adalah aku.
Saat itu aku mendengar suara
kekasihmu yang berjalan di belakangku. Aku pun menoleh, dan dia tersenyum
kepadaku.
“Hai, Mbak. Gak pernah ketemu
tambah menggoda aja,” sapanya.
Aku turut tersenyum, tertawa malah.
“Hahahahaha, kamu juga tambah menggoda.”
“Menggoda siapa nih?”
“Siapa lagi? Dia lah,” sahutku.
Tanpa aku menyebutkan namanya, kami berdua tahu siapa yang disebut ‘dia’.
Kekasihmu hanya tertawa, namun
itu hanya sesaat sebelum dia menurunkan senyumnya. “Aku kangen dia, Mbak.”
Untuk sesaat aku tak tahu harus
berkata apa. Untuk apa juga kekasihmu ini berkata hal demikian di depanku?
“Ketemu tiap hari kok kangen. Kurang ta ketemunya?” tanyaku dengan maksud
bercanda.
“Apanya yang ketemu tiap hari?
Ini aku udah seminggu gak ketemu dia,” jawab kekasihmu.
Sedikit banyak, aku mulai terasa
tertarik dengan pembicaraan ini. “Loh? Kenapa? Dia luar kota?”
Kekasihmu menggeleng. “Dia nggak
ngampus seminggu ini, Mbak.”
Ada sebuah palu yang terasa
menghantam bagian terdalam dadaku. Seketika itu pula aku merasa sekelilingku
berputar. Ulu hatiku terasa nyeri, dan aku mulai kesusahan untuk menghirup
udara. “Kenapa?” tanyaku terbata dan pelan.
Lagi-lagi kekasihmu menggeleng,
namun kali ini berbeda. Aku melihat sedikit genangan air di sepasang mata
hitamnya. “Sudah, Mbak ya? Ini aku mau ke rumahnya, mau nengokin,” ucap
kekasihmu sambil tersenyum lalu berbalik pergi.
Kekasihmu berjalan menjauh meninggalkanku
sendiri tanpa menoleh lagi. Aku, tanpa kutahu apa penyebabnya, dadaku kembali
terasa nyeri. Aku tak ingin sesumbar atau apa, tapi aku juga tak bisa
membohongi diriku sendiri kalau ini semua ada hubungannya dengan pertemuan
terakhir kita.
Seminggu yang lalu…
.
.
.
Ya Tuhan, jagalah dia. Berilah
dia kesehatan lahir dan batin. Berilah dia kebahagiaan di tengah banyaknya
beban yang harus ia selesaikan. Dan yang terakhir adalah berilah dia seseorang
yang mampu melewati segala kesulitan yang menghadangnya di masa sekarang maupun
mendatang. Karena aku paham, Tuhan… yang bisa kulakukan hanyalah mendo’akannya
dari sini, cukup dengan jarak seperti ini…